Kenapa rahim itu memilihku? Sedangkan ketika terlahir, cinta tak pernah berjalan dengan kesengsaraaan dalam hidupku. Roda-roda sepeda itu berputar cepat saat diayunkan, bergesakan dengan aspal yang terpapar matahari. Bau keringat dari badan seorang bocah kurus tinggi dan berkulit sawo matang itu memaksa masuk indera penciumanku. Ia menepikan sepedanya dipinggir halte dan mulai berjalan dengan napas beradu pacu tak sejalan akibat kelelahan, dengan badannya yang kecil memiliki tujuan kursi halte kosong disampingku, namun tiba-tiba ia kehilangan perhatian dan memalingkan pandangannya kemudian mengubah rute perjalanan dengan tujuan kepada penujual tua yang menjajakan minuman disebrang jalan. Aku memperhatikannya, sederet gigih putihnya menampilkan wajah ramah kepada penjual tua yang menjajakan dagangannya. Harga 4rb untuk satu botol air mineral, ia membayarnya dengan lebih dan terbalaskan senyum riang si penjual tua itu.
Tenggorokannya bergoyang saat meneguk air minum yang dibelinya. Sesekali dia menghentikan minumnya dan menghela napas lalu terpaku pada sepedanya yang ia taikik tadi.
"Masih kecil?", gumanku
Dari perawakannya kudapati selisi 8 9 tahun dari usiaku yang saat ini 21 tahun. Kupandangi wajahnya, penampilan dan tingkah lakunya.
Sesekali memberi pertanya kepada otakkum "mengapa bocah sekecil ini sangat lemas?"
Ia menoleh kepadaku
"Minum teh"
""HA?" Ohh, iya makasih" aku dikagetkan dengan tawaran air minumnya kepadaku
"Sok di minum teh"
"Iya makasih"
Bisa-bisanya aku mengamatinya secara detail padahal untuk menatap dan meperhatikan orang asing secara berlebihan saja aturan tidak sopan sudah ditanamkan dari kecil. Tapi ia melempar beberapa senyuman, dengan tangannya yg kecil ia menawarkan minuman padaku? Membuatku lega kalau ternyata dia cukup ramah meski mungkin sedikit terusik akibat tingkahku.
Aku mulai mmeberanikan diri menanyakannya
"Dari mana de?"
"Kerja teh,"
Loh? Kerja diperawakan tubuh sekecil ini
"Ga sekolah de?"
"Sekolah tadi pagi, tapi udh pulang"
"Ha? Masih sekolah udh kerja, emg kelas berapa kamu"
"Baru masuk semseter awal kelas 6 sd teh"
Aku tersentak. Mana bisa bocah sekecil itu bekerja? disaat waktunya mereka menghabiskan permainan dengan teman sebaya dan mmepelajari banyak hal dalam buku pelajarannya, namun memilih bekerja?
Apa alasan bocah sekecil ini bekerja?
Berbagai macam pertanyaan berebut masuk dalam otakku, seperti bom yang akan meledak begitulah rasa penasaranku yang tak terbendung.
Aku meberanikan diri untuk menanyakan alasannya bekerja, melepaskan dektaktor dalam bom pensaran ku.
"Kenapa kerja"
"Buat jajan teh"
"Orang tua?"
"Tinggal mamah, tapi mamah lagi sakit"
Oh kalo ayah?"
Ayah udh pergi ke garut dari aku kelas 2 sd teh"
Bocah laki-laki dengan usia semuda ini. haru memikul beban seperti orang-orang dewasa. Tragis.
"Udahan yah teh mau lanjut jalan lagi"
"Oh iya mari mari, hati-hati ya de"
"Iya teh" terlempar senyum tulus itu kepadaku
Gada manusia yang ingin dilahirkan tanpa cinta. Untuk beberapa orang dengan sedikit cinta atau tanpa cinta hidup bagaikan ketiadakadilan, asam pedas makanan harus dimasukan dalam mulut, sekalipin makanan itu beracun harus tetap dimakan.
Sebab hanya dua pilihan! mati akibat memakan racun, atau mati akibat kelaparan.
Keadilan suatu hal yang bulshit, mengklon ketamakan seseorang agar manusaia berbaik hati tinggal dibumi. Keadilan tidak pernah berpihak pada manusia sejatinya, sekalipun negara menjunjung tinggi sila ke- 5 dalam pancasila sebagai idelogi bangsa ini,
bahwa "keadilan sosial bagi seluruh rakyat indoensia"
Akan selalu ada rakyat yang tidak menerima keadilan, mungkin pasien bpjs kelas 3 yang butuh pengobatan dengan kaum elite transaksi dolar selalu terjadi ketiadakdilan. Anak cerdas yang harusnya mendapatkan fasilitas belajar yang akan terus memgembakan otaknya harus terlempar pada kenyataan bahwa anak dengan otak pas-pasan dan selalu di ruang tutor berlajar dengan AC yang nyaman.
Meski pemerintah mati2an menciptakan keadilan untuk rakyat. Namin puluhan tahun keadilan tidak pernah hadir
Bukankah keadilan sejatinya hanya milik tuhan? Para manusia hanya akan terus berfikir dan kemudian bersikap adil tanpa pernah memiliki sifat murni keadilan.