Sejujurnya, disebagian hatiku selalu mengharapkanmu pulang dan kembali. Tapi, jauh didalam hatiku selalu ada perasaan kuat yang tak lagi menerimamu.
Jika aku bisa memutar waktu, aku akan berdoa agar kita tidak pernah bertemu, dan aku tidak perlu hancur berkeping- keping seperti ini.
Disisi baiknya, mencintaimu layaknya sebuah puisi.
Berisi bait- bait indah yang selalu kubaca berulang- ulang setiap hari.
Namun, selayaknya puisi yang memiliki akhir. Ternyata hanya sebatas itu juga semuanya berangsur- angsur selesai.
Bila kau menyalahkanku yang dengan sengaja membuat puisi itu selesai,
Lihat juga dirimu sendiri.
Bagiku kini, kau hanyalah sebuah mentari yang sudah meredup.
Jika kita bicara tentang masa- masa itu,
Bisa kau lihat ada belati yang menancap dihati.
Bagiku, masa- masa itu tak pantas untuk diulang kembali
Bahkan sampai akhir nanti
Jika kubisa berkata,
Dirimu indah meski hanya sementara.
Dan selesai dengan luka- luka menganga
Andai kubisa,
Ingin kubakar semua kenangan itu
Agar habis tak bersisa,
Bukankah dengan sebait puisi ini, bisa kau lihat… seberapa banyak aku membencimu
Namun, kau juga perlu tahu
Bahwa orang yang paling mencintai adalah orang yang paling kecewa
Bahkan hujan,
Yang menjadi favoritku
Telah mati bersamamu
Hanya karena ia, ikut andil dalam kebersamaan kita.
Aku, disini..
Masih dengan separuh hati yang mencintaimu
Masih dengan mata terpejam merindukanmu
Masih dengan perasaan yang sama, dan menitikkan air mata
Namun aku yang disini,
Bukan lagi aku yang dulu
Bukan gadis bodoh yang dengan mudahnya jatuh, sejatuh- jatuhnya kepada orang yang salah
Aku yang sekarang…
Adalah orang yang paling menyesal pernah mengenalmu
Meski dikaca jendela besar,
Kepala ini menoleh berkali- kali hanya untuk melihatmu pulang
Tapi jauh dilubuk hati, aku melarang
Berusaha keras melaju dengan kereta laju
Dan meninggalkan kenangan itu sendirian, bersamamu
Aku, bungamu
Telah dengan berani menanggalkan kelopaknya
Dan aku juga tahu
‘Apa yang aku lepaskan tidak akan pernah dapat kau sempurnakan lagi’
Karena jelas- jelas, kau juga yang telah menghancurkan kelopak itu
Aku, bungamu..
Selalu bertahan dengan rasa sakit sendirian
Dan aku bungamu..
Entah polos atau bodoh
Sungguh terlalu berharap kau hanya melihatku
Sedangkan aku sendiri tahu,
Matahari takkan selalu menyinari satu bunga
Bungamu ini, kini telah layu
Meninggalkan harum tanah yang menemanimu bersama penyesalan
Bungamu ini,
Akan tumbuh di padang rumput yang baru,
Dihalaman seseorang yang akan dengan tulus menjaganya.
Karena mereka tahu, takkan pernah ada bunga yang identik. Yang sama.

Dan dengan puisi ini, kuharap kau dapat melihat betapa menganganya luka yang kau beri---setahun lalu
mirisnya lagi, aku tak bisa mengobatinya.
Apa yang begitu special dari sebuah mentari
Sayang, aku pernah buta. Tak melihat betapa setianya bulan menemaniku setiap malam.
Sedangkan aku, hanya menunggumu tanpa jeda
Namun, dibait terakhir puisi ini..
Aku ingin kau bukan hanya menjadi sekedar kenangan. Aku ingin kau menjadi abu yang menguap dan tak pernah tersisa di kepalaku.
Kau perlu tahu, aku tak pernah menunggumu karena sebuah kesempurnaan
Aku hanya terlalu banyak meminta pada harapan yang kosong
Aku tidak berharap kita saling menikam satu sama lain,
Ketahuilah, aku takkan pernah bisa membencimu meski aku ingin
Teman , lebih baik bagiku daripada sekedar musuh
Dan melupakan lebih indah bagiku daripada sekedar kenangan.
Karena satu yang kubenci, adalah kenangan itu sendiri.
Purwakarta, 11 juni 2016
AyudyaFitri / www.tulisasik.blogspot.com
CHECK IT OUT => http://www.tulisasik.com/2017/05/aku-merindu.html